SAMARINDA: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah berjalan selama dua tahun, membawa harapan bagi para korban kekerasan seksual, khususnya perempuan dan anak.
Namun, implementasinya di Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim) masih menghadapi berbagai tantangan.
Merespons situasi ini, Paralegal Perempuan Muda Sebaya Perempuan Mahardhika Samarinda menggelar Dialog Sosial bertajuk “Dua Tahun UU TPKS Disahkan, Bagaimana Tantangan Implementasinya di Samarinda?”.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai lembaga dan organisasi masyarakat, berlangsung di Hotel Horison, Jumat (5/7/2024).
Acara ini bisa terselenggara berkat dukungan dari Global Affairs Canada (GAC). Narasumber yang hadir antara lain Disya Halid dari Paralegal Perempuan Mahardhika Samarinda, Kasmawati dari LBH APIK Kaltim, Dardanella Yama Sartika dari DP2PA Samarinda, dan Jainah dari Kejati Kaltim. Dialog ini juga dihadiri oleh mahasiswa, aktivis dan media.
Project Coordinator Putri Kusumaningdyah mengungkapkan kegiatan ini selaras dengan program mereka yaitu Local Development Intiative (LDI).
“Apa yang sudah dilakukan oleh teman-teman di Perempuan Mahadhika ini sangat spesial dan penting terkait isu kesetaraan gender. Dan itu merupakan salah satu program yang pemerintah Canada proaktif untuk mempromosikan isu tersebut,” katanya.
Dalam pemaparan awal, Disya memaparkan tantangan yang dihadapi di lapangan. Baik dari sisi korban maupun pendamping. Terutama korban yang merupakan perempuan muda.
Disya mengatakan, korban perempuan muda kerap mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Tak hanya berupa kekerasan secara fisik, namun psikis dan seksual.
Ragam kekerasan yang dialami pun terjadi dari segala cara. Seperti, manipulasi, ancaman, rayuan, dan adanya relasi kuasa.
Menurutnya, banyak korban yang enggan untuk melaporkan kasusnya ke pihak yang berwenang. Karena takut akan stigma masyarakat.
“Padahal, relasi tersebut malah rentan akan susahnya korban untuk berani lapor. Ketika mengutarakan kasusnya, malah dijustifikasi dan disalahkan oleh lingkungannya. Baik dari keluarga, teman, hingga aparat penegak hukum (APH),” paparnya.
Apabila ada korban yang berani melapor pun, APH juga kadang memberikan pertanyaan yang menyudutkan korban.
Sebagai pendamping korban pun mengalami hal yang tidak mengenakkan karena pendamping perempuan muda sering diremehkan kapasitasnya dan kualitasnya oleh APH.
Kasmawati dari LBH APIK Kaltim menambahkan, korban perempuan muda lebih nyaman menceritakan kasusnya kepada pendamping yang seumuran.
“Pendamping yang sebaya lebih dipercaya oleh korban untuk membuka diri,” katanya.
Dardanella dari DP2PA menyatakan pihaknya akan menerima masukan dari dialog ini untuk meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri tanpa kerjasama dengan pihak lain,” ucapnya.
Jainah dari Kejati Kaltim mengungkapkan kendala dalam implementasi UU TPKS karena belum lengkapnya regulasi turunan.
“Dari tujuh regulasi turunan, baru dua yang selesai,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya sinergi dengan kepolisian agar UU TPKS dapat digunakan sebagai landasan hukum pelaporan kasus kekerasan seksual.
Dialog ini menghasilkan rekomendasi untuk membentuk tim efektif yang diusulkan oleh Kejati Kaltim dan DP2PA, yang melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan kelompok perempuan.
Ketua Umum Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi menekankan pentingnya perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
“Laporan kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan laporan tindak pidana umum,” tegasnya.
Komitmen dari DP2PA dan Kejati Kaltim untuk memperbaiki pelayanan juga diperoleh dalam dialog ini. Kesadaran bersama untuk menerapkan UU TPKS dengan lebih kuat diharapkan mampu memberikan perlindungan maksimal bagi korban kekerasan seksual di Samarinda.(*)