
SAMARINDA: Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Sapto Setyo Pramono, meminta Pemerintah Provinsi Kaltim untuk melakukan validasi data secara menyeluruh sebelum melaksanakan program bantuan pendidikan “Gratispol” secara masif.
Menurut Sapto, meskipun program ini merupakan langkah positif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pendataannya harus akurat dan terverifikasi agar tidak menimbulkan polemik.
“Program ini sangat baik. Tapi jangan sampai niat baik justru menimbulkan masalah karena tidak tepat sasaran,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin, 2 Juni 2025.
Program Gratispol merupakan inisiatif Gubernur Kaltim yang memberikan bantuan pendidikan bagi warga ber-KTP Kaltim hingga maksimal usia 25 tahun.
Bantuan diberikan untuk berbagai jenjang pendidikan, yakni, S1: Rp5–7 juta per semester, S2: Rp9–10 juta per semester, S3: Hingga Rp15 juta per semester, dan Kedokteran: Rp10 juta per semester.
Sapto menyambut baik semangat pemerataan pendidikan dalam program tersebut.
Namun ia menekankan, bantuan harus diberikan berdasarkan kebutuhan dan prestasi, bukan sekadar status kependudukan.
Ia mencontohkan, jika data ekonomi keluarga tidak diperbarui, ada kemungkinan warga yang tergolong mampu tetap masuk sebagai penerima bantuan.
“Bagaimana kalau orang tuanya benar-benar sudah mampu, tapi datanya belum update? Bisa-bisa mereka tetap terdaftar sebagai penerima. Ini yang harus diantisipasi,” jelasnya.
Politisi Partai Golkar ini menegaskan bantuan pendidikan harus diprioritaskan bagi masyarakat tidak mampu dan mereka yang berprestasi. Ia mengingatkan bahwa keadilan bukan berarti semua harus mendapat bantuan secara merata.
“Adil itu bukan berarti semua harus dapat sama rata. Kalau orang sudah mampu masih ingin disebut miskin demi bantuan, itu namanya dzalim dan tidak bersyukur,” katanya.
Sapto juga menyinggung pengalaman pada program Beasiswa Kaltim Tuntas (BKT) yang sebelumnya sempat dikritik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena penyaluran yang tidak tepat sasaran dan menyisakan anggaran. Ia menyebut peristiwa tersebut sebagai pelajaran penting agar hal serupa tidak terulang dalam program Gratispol.
“Ini menunjukkan datanya memang belum rapi. Karena itu, saya minta sebelum program ini berjalan besar-besaran, data harus divalidasi terlebih dahulu. Jangan hanya ambil dari NIK saja,” ucapnya.
Ia mendorong Pemprov membentuk tim khusus untuk melakukan studi kelayakan (feasibility study) secara menyeluruh terhadap calon penerima bantuan, termasuk menilai latar belakang ekonomi, tempat tinggal, dan kondisi keluarga.
“Jangan nanti rumah dua lantai, mewah, tapi masih ditempeli stiker Program Keluarga Harapan (PKH). Itu kan lucu,” sindirnya.
Sapto menyarankan Pemprov membangun sistem pendataan mandiri yang dapat dijadikan acuan tetap dalam seluruh program sosial dan pendidikan di daerah. Menurutnya, sistem tersebut perlu disinkronkan tetapi tidak bergantung sepenuhnya pada data pusat.
“Sinkronisasi data wajib dilakukan, dan kita harus punya database sendiri yang fiks dan kredibel. Kalau tidak, potensi salah sasaran itu sangat besar,” ujarnya.
Ia menegaskan keberhasilan program tidak hanya diukur dari jumlah bantuan yang disalurkan, tetapi juga dari akurasi sasaran dan dampaknya terhadap masyarakat.
“Jangan sampai yang benar-benar butuh malah tidak kebagian, sementara yang berkecukupan justru diuntungkan karena data tidak sinkron,” tutupnya.