
KUKAR : Di tengah geliat pembangunan infrastruktur digital yang tengah digencarkan pemerintah di seluruh penjuru Nusantara, ironi justru masih menyelimuti Kecamatan Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Di wilayah ini, akses terhadap jaringan internet yang layak masih menjadi kemewahan yang belum bisa dinikmati secara merata oleh masyarakat.
Kembang Janggut yang secara administratif terbagi dalam 11 desa dan memiliki luas wilayah mencapai 1.923,9 kilometer persegi, hingga kini masih dikategorikan sebagai blank spot signal Internet.
Kondisi ini membatasi mobilitas informasi serta membebani komunikasi masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan.
Kenyataan ini diungkapkan oleh Hasan Alwi, Staf Pemberdayaan Masyarakat Desa Kecamatan Kembang Janggut.
Ia mengatakan bahwa masalah keterbatasan sinyal internet telah berlangsung lama dan memberikan dampak sistemik terhadap kehidupan masyarakat.
“Kami sudah mengajukan permintaan kepada pihak terkait, seperti penyedia layanan telekomunikasi. Namun, sampai saat ini belum ada solusi nyata,” ujar Hasan saat ditemui di kantor kecamatan, Rabu, 30 April 2025.
Keterbatasan akses digital, menurut Hasan, bukan hanya menghambat komunikasi. Namun, juga telah menggerus kemajuan sektor-sektor vital seperti pendidikan, pelayanan publik, dan perekonomian warga.
Ketika sebagian besar layanan administrasi kini ditransformasi ke dalam bentuk daring, warga Kembang Janggut masih harus berjibaku dengan sinyal yang tak kunjung stabil. Bahkan, di beberapa desa, layanan internet sama sekali tidak tersedia.
Secara geografis, wilayah ini dipisahkan oleh aliran Sungai Belayan yang menjadi urat nadi transportasi dan interaksi sosial masyarakat setempat.
Letaknya yang terpencil, ditambah lagi dengan bentang alam yang didominasi sungai dan hutan lebat, membuat banyak desa hanya bisa dijangkau melalui jalur air.
Situasi ini menjadi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi, khususnya jaringan seluler dan internet.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat setempat merasakan secara langsung ketimpangan digital yang semakin nyata.
Bukan hanya anak-anak sekolah yang kesulitan mengakses materi belajar daring, para pelaku UMKM dan petani lokal pun tidak dapat memanfaatkan platform digital untuk memasarkan hasil produksi mereka.
“Jadi, kami kesulitan mempromosikan semuanya itu,” keluh Hasan, merujuk pada sektor-sektor ekonomi kreatif lokal seperti pariwisata, makanan khas desa, dan kerajinan tangan yang kehilangan peluang untuk dikenal lebih luas.
Ia menambahkan bahwa ketimpangan ini juga diperparah oleh keterbatasan sumber daya manusia di daerah.
Banyak generasi muda Kembang Janggut yang setelah menempuh pendidikan tinggi di luar daerah memilih untuk menetap dan bekerja di kota-kota besar.
“Memang banyak anak-anak muda di sini yang bersekolah di luar daerah dan sudah menjadi sarjana, kebanyakan bekerja dan menetap di luar daerah,” ungkapnya.
Pemerintah pusat sejatinya telah mencanangkan pembangunan infrastruktur digital secara merata. Salah satunya melalui program pembangunan menara Base Transceiver Station (BTS) yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Namun di Kembang Janggut, program tersebut belum menyentuh seluruh wilayah secara efektif.
Pihak kecamatan, kata Hasan, tidak tinggal diam. Mereka terus mengupayakan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mendorong penambahan menara telekomunikasi agar seluruh desa bisa terjangkau jaringan seluler.
Hasan pun menyampaikan harapannya agar pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih aktif dalam menyuarakan kebutuhan digital warganya kepada pemerintah pusat dan mitra penyedia jaringan.
“Supaya anak-anak kami bisa belajar dengan layak, pelaku usaha bisa terhubung dengan pasar, dan masyarakat kami bisa mendapat layanan publik yang setara dengan daerah lain,” pungkasnya. (Adv)