Samarinda – Sejak pertama kali kasus Covid-19 masuk ke Indonesia, pemerintah sibuk mengeluarkan kebijakan yang dinilai tepat dan cukup efektif.
Namun, lebih setahun sudah lamanya pandemi Covid-19 tidak juga sirna. Justru bermunculan varian baru dari virus tersebut yakni Covid-19 Delta.
Berkaitan dengan hal tersebut, YLBHI-LBH Samarinda berinisiatif untuk mendirikan posko pusat pengaduan yang terletak di Jalan Gitar No 30 A Samarinda, dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat guna melindungi dan membela hak-hak mereka.
“Kami meluncurkan ini karena menganggap penurunan Covid-19 sejauh ini belum ada kejelasan sudah banyak kebijakan yang dianggarkan namun dinilai belum efektif bahkan di Jawa sudah ada kasus varian baru. Ini cukup ironi,” ungkap Ketua LBH Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi, Jumat (26/6/2021).
Dari situ juga ternyata ada beberapa kasus yang memang berujung pada tindakan korupsi alias hanya menguntungkan sejumlah pihak seperti kebijakan soal bansos yang dilakukan oleh Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara.
“Ini sangat miris. Anggaran untuk membantu masyarakat tetapi malah disalahgunakan, bahkan oknumnya adalah bagian dari pemerintahan itu sendiri,” sebut Fathul.
Dikatakannya, ini merupakan tugas bersama untuk mengawal dan mengontrol dari penanganan dan pencegahan Covid-19 sehingga situasi betul-betul kembali keadaan normal yang sesungguhnya.
Di sisi lain, Fathul menerangkan bahwa ini memang program dari LBHI yang dilaksanakan di setiap daerah.
“Jadi LBH ini bagian dari penggagas laporan Covid-19 jadi konteksnya bertujuan untuk Covid-19 dan ini merupakan launching pertama di Samarinda. Beberapa daerah akan menyusul,” terang Fathul.
Fathul mengatakan bukan masalah membuat aturannya. Tetapi apa yang mendasari aturan tersebut, seharusnya basisnya berdasarkan keilmuan medis. Sehingga tidak asal membuat kebijakan tanpa adanya basis jelas yang nantinya malah berdampak ke masyarakat.
Mengambil contoh di Kota Balikpapan, beberapa kali kebijakan PPKM dilakukan. Namun pelaksanaannya cenderung tebang pilih yang dinilai memberikan batasan operasional terhadap angkringan maupun cafe.
Cafe dan angkringan kerap menjadi tempat yang dibubarkan oleh petugas patroli yang beralaskan penyebab timbulnya kerumunan.
“Tetapi bagaimana kebijakan terhadap mal? Kenapa di sana juga tidak berlaku hal yang sama,” tanya Fathul.
Fahtul menganggap hal ini sudah mencederai hak-hak masyarakat, terutama para pedagang angkringan yang mana mereka menggantungkan hidupnya di sana.
“Kenapa mereka tidak ditegaskan dalam prokesnya saja, kenapa malah harus dibubarkan. Lebih baik diawasi saja prokesnya, jadi penanganan Covid-19 berjalan ekonomi pun begitu,” sambung Fathul.
Oleh karena itu Fathul berharap, dengan berdirinya posko ini dapat membantu masyarakat atas segala keluhan yang disampaikan terkait daripada kebijakan pemerintah.
Terkait mekanismenya bisa datang langsung untuk pengaduan kemudian nanti dianalisa apa yang menjadi keluhannya. Setelah itu dilakukan kebijakan ataupun melaksanakan audensi dengan pihak terkait.
“Kalau memang ada pelanggaran hukum kenapa tidak kita laporkan,” tutup Fathul.