
SAMARINDA: Sekretaris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Darlis Pattalongi, mengungkapkan bahwa salah satu kendala utama dalam implementasi program Gratispol Pendidikan pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah keterbatasan kewenangan dan payung hukum, terutama dalam penyaluran bantuan pendidikan ke perguruan tinggi yang berada di bawah naungan pemerintah pusat.
“Terus terang, ini juga yang menghambat Pemprov. Ternyata status kewenangan menjadi tantangan. Kalau bantuan untuk SMA itu mudah karena wewenangnya di provinsi, tapi karena ini ke lembaga di bawah kementerian, maka tata aturannya juga harus menyesuaikan,” kata Darlis, Kamis
Menurutnya, kondisi tersebut membuat pemerintah tidak bisa menggunakan istilah “Gratispol” atau menyalurkan bantuan secara langsung dengan skema hibah pendidikan. Selain regulasi pusat yang ketat, hibah juga tidak diperbolehkan diberikan secara terus-menerus.
“Makanya sekarang namanya bantuan pendidikan, bukan lagi hibah atau Gratispol dalam arti teknis. Karena hibah itu terbatas dan tidak boleh berulang setiap tahun. Nomenklatur ini disesuaikan agar tidak menyalahi aturan,” jelasnya.
Darlis menyebut bahwa keterbatasan juga muncul dari regulasi pusat, khususnya Permendagri, yang membatasi fleksibilitas penggunaan anggaran daerah untuk sektor pendidikan tinggi.
“Permendagri juga membatasi. Kita nggak bisa meng-cover semua hal, karena memang itu masuk wilayah kewenangan pusat,” ujarnya.
Untuk mengatasi hambatan ini, DPRD Kaltim melalui Komisi IV akan mendorong agar regulasi program bantuan pendidikan ini tidak hanya berbasis Peraturan Gubernur (Pergub), tetapi ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) agar memiliki landasan hukum yang lebih kuat dan berkelanjutan.
“Tahun ini kami akan membahas APBD 2026, dan kami ingin Pergub yang selama ini jadi dasar Gratispol itu ditingkatkan jadi Perda. Dengan begitu akan lebih kuat dari sisi hukum,” tegas Darlis.
Selain itu, ia menekankan pentingnya komitmen dan koordinasi antara Pemprov Kaltim dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia guna menyelaraskan regulasi vertikal agar bantuan pendidikan bisa disalurkan tanpa melanggar aturan pusat.
“Komunikasi antar pemerintah daerah dan kementerian juga terus dibangun. Harapannya, hambatan-hambatan hukum ini bisa diatasi secara sistemik, tidak hanya solusi jangka pendek,” tutupnya.