JAKARTA : Beragam upaya ditempuh pemerintah dalam merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat.
Upaya itu dengan berkoordinasi lintas kementerian dan lembaga. Selain itu, menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), U.S. Chamber of Commerce, dan negara mitra lainnya dalam menghadapi kebijakan tarif resiprokal.
Koordinasi dilakukan untuk memastikan setiap kebijakan yang diambil mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh dan selaras dengan kepentingan nasional imbas dari tarif resiprokal Amerika Serikat.
Dalam rapat koordinasi terbatas lanjutan secara virtual, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif tersebut.
Indonesia memilih untuk menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
Pendekatan tersebut, kata Airlangga, diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang. Selain itu, hubungan perdagangan bilateral serta untuk menjaga iklim investasi, dan stabilitas ekonomi nasional.
“Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April 2025 diminta untuk merespons,” ujar Airlangga, Minggu, 6 April 2025.
Untuk itu, Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat.
Di sisi lain, Pemerintah juga mencermati potensi dampak kebijakan tarif terhadap sejumlah sektor industri padat karya, berorientasi ekspor, seperti industri apparel dan alas kaki.
Sektor-sektor tersebut lanjutnya, dinilai rentan terhadap fluktuasi pasar global. Maka, pemerintah berkomitmen untuk terus memberikan dukungan melalui berbagai insentif yang tepat sasaran untuk menjaga daya saing dan keberlangsungan usaha.
Tarif resiprokal Amerika Serikat berlaku mulai 9 April 2025. Terdapat beberapa produk yang dikecualikan dari tarif resiprokal, antara lain barang yang dilindungi 50 USC 1702(b), misalnya barang medis dan kemanusiaan.
Produk yang telah dikenakan tarif berdasarkan Section 232 yaitu baja, aluminium, mobil dan suku cadang mobil.
Selain itu, produk strategis yaitu tembaga, semikonduktor, produk kayu, farmasi, bullion (logam mulia). Serta energi dan mineral tertentu, yang tidak tersedia di Amerika Serikat.
Pemerintah, lanjutnya, juga akan terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait. Termasuk asosiasi pelaku usaha untuk memastikan bahwa suara industri dalam negeri turut menjadi bagian dari proses perumusan strategi kebijakan.
Kajian dan perhitungan terus dilakukan secara mendalam terhadap implikasi fiskal dari berbagai langkah kebijakan yang tengah dipertimbangkan.
Evaluasi tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap sejalan dengan prinsip kehati-hatian fiskal. Juga menjaga stabilitas APBN dalam jangka menengah dan panjang.
“Karena ini masih dinamis dan masih perlu working group untuk terus bekerja, bapak presiden minta kita bersurat sebelum tanggal 9 April 2025. Namun teknisnya, tim terus bekerja untuk melakukan dalam payung deregulasi sehingga ini merespons dan menindaklanjuti daripada Sidang Kabinet yang lalu di bulan Maret,” jelas Menko Airlangga.