Kasus pencurian dan permainan minyak di Indonesia seolah tak ada habisnya. Dari pencurian minyak mentah di Lawe-Lawe, Kalimantan Timur pada 2005 hingga skandal minyak oplosan yang menyeret Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN), Riva Siahaan (RS) dengan dugaan korupsi senilai Rp193,7 triliun, mafia minyak terus menghantui industri energi nasional.

Lawe-Lawe: Pusat Energi yang Pernah Diguncang Skandal
Kelurahan Lawe-Lawe di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) merupakan lokasi strategis bagi Pertamina Refinery Unit (RU) V Balikpapan. Di sana, terdapat fasilitas penyimpanan dan distribusi minyak mentah yang kini diperluas untuk mendukung proyek Refinery Development Master Plan (RDMP).
Namun, pada Oktober 2005, Terminal Lawe-Lawe menjadi pusat skandal pencurian minyak terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Minyak mentah dialirkan dari pipa bawah laut ke kapal tanker dan dijual ke penadah di Singapura.
Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), geram dan tidak habis pikir bagaimana pipa berdiameter 1,5 meter sepanjang 7 mil bisa disadap begitu mudah.
“Saya tidak habis pikir dengan pipa sebesar itu, minyak bisa diselundupkan tanpa terdeteksi,” ujar SBY dengan nada marah.
Lebih dari 40 orang tersangka, termasuk 18 pegawai Pertamina, terlibat dalam skandal ini. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp8 triliun. Salah satu tersangka utama, Suwardiono, kepala jaga kilang minyak Lawe-Lawe, bahkan dituntut hukuman seumur hidup.
Skandal Minyak Oplosan
Dua dekade setelah kasus Lawe-Lawe, kini muncul skandal baru di tubuh Pertamina Patra Niaga (PPN). Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka utama, bersama 6 petinggi lainnya.
Selain RS, tersangka lainnya adalah Yoki Firnandi (YF) – Dirut PT Pertamina International Shipping (PIS), Sani Dinar Saifuddin (SDS) – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT PIS, AP – VP Feedstock Management PT PIS, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa (NK), DW – Komisaris PT NK sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim (JM), GRJ – Komisaris PT JM dan Dirut PT Orbit Terminal Merak (OTM).
MKAR sendiri diketahui merupakan anak taipan minyak Muhammad Riza Chalid, yang sebelumnya terseret skandal “Papa Minta Saham” pada 2015.
Modus yang dilakukan dalam kasus ini cukup mencengangkan. Pertalite (Ron 90) dioplos menjadi Pertamax (Ron 92) sehingga harga jualnya lebih tinggi. Mark-up kontrak shipping hingga 15% juga dilakukan, menguntungkan pihak swasta yang terlibat.
Dampak Besar bagi Negara dan Konsumen
Jika terbukti, kasus ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat yang tanpa sadar menggunakan BBM oplosan yang berpotensi merusak mesin kendaraan.
Presiden Prabowo Subianto menanggapi kasus ini dengan singkat, namun tegas.
“Lagi diurus semua, ya lagi diurus semua,” ujar Prabowo saat ditanya wartawan di Jakarta, 26 Februari 2025.
Sementara itu, Pertamina membantah tudingan bahwa BBM yang dijual ke masyarakat merupakan hasil oplosan.
“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan yang disampaikan Kejaksaan,” kata Fadjar Djoko Santoso, VP Corporate Communication Pertamina.
Sejarah Panjang Pencurian Minyak di Indonesia
Kasus illegal tapping dan pencurian BBM telah berlangsung selama puluhan tahun. Skema pencurian mulai dari penyadapan kecil-kecilan hingga skala industri kerap terjadi, terutama di Sumatera dan Kalimantan, termasuk di sekitar Kilang Balikpapan.
Istilah “minyak kencing” sudah tidak asing lagi. BBM subsidi sering dicuri lalu dijual dengan harga mendekati minyak industri. Bahkan, banyak penambang batu bara ilegal yang menjadi konsumen utama dari permainan minyak ilegal ini.
Kasus Lawe-Lawe 2005 dan Skandal Minyak Oplosan 2025 membuktikan, mafia minyak masih bercokol di dalam sistem. Kini, publik menanti apakah Kejaksaan Agung benar-benar bisa membersihkan industri energi nasional dari para pencoleng minyak yang menggerogoti ekonomi negara.
Beta feature