
SAMARINDA: Kamaruddin Ibrahim (KMR), Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) dari Fraksi Partai NasDem, ditahan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sejak Rabu, 7 Mei 2025.
Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek fiktif senilai Rp431.728.419.870 di lingkungan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.
Kamaruddin, yang merupakan wakil rakyat dari daerah pemilihan Kota Balikpapan, diduga mengendalikan dua perusahaan swasta, yaitu PT Fortuna Aneka Sarana Triguna dan PT Bika Pratama Adisentosa.
Kedua perusahaan ini masuk dalam daftar vendor proyek fiktif yang ditunjuk oleh empat anak perusahaan PT Telkom, yakni PT Infomedia Nusantara, PT Telkominfra, PT Pins, dan PT Graha Sarana Duta, selama periode 2016 hingga 2018.
Selama dua tahun itu, sembilan perusahaan swasta dilibatkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang sebenarnya tidak pernah dilaksanakan.
Meskipun anggaran dari PT Telkom telah dicairkan, tidak ada realisasi pekerjaan di lapangan.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka terdiri dari pejabat PT Telkom, pengendali vendor, serta pelaku dari perusahaan swasta. Berikut daftar para tersangka:
*Jajaran PT Telkom*
1. AHMP – General Manager Enterprise Segment Financial Management Service PT Telkom (2017–2020)
2. HM – Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom (2015–2017)
3. AH – Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara (2016–2018)
*Vendor PT Telkom*
4. NH – Direktur Utama PT Ata Energi
5. DT – Direktur Utama PT International Vista Quanta
6. KMR – Pengendali PT Fortuna Aneka Sarana Triguna dan PT Bika Pratama Adisentosa
7. AIM – Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara
8. DP – Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri
9. RI – Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kamaruddin bersama tujuh tersangka lainnya ditahan di sejumlah rumah tahanan.
Sementara itu, satu tersangka, DP, dikenai tahanan kota dengan alasan kesehatan.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kaltim, Subandi, menyatakan keprihatinannya atas kasus ini.
Ia menegaskan bahwa selama proses hukum masih berjalan, BK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan etik terhadap yang bersangkutan.
“BK hanya menangani pelanggaran etik. Jika nanti sudah ada putusan hukum yang inkrah, kami akan memberikan rekomendasi sesuai aturan. Bila terbukti bersalah, fraksinya akan otomatis memproses Pergantian Antarwaktu (PAW),” ujar Subandi, Selasa (13 Mei 2025).
Ia juga mengimbau seluruh anggota DPRD Kaltim untuk menjaga integritas dan menjauhi tindakan yang dapat mencoreng nama baik lembaga.
Dalam pengungkapan kasus ini, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga memaparkan rincian proyek fiktif dari sembilan perusahaan berikut:
1. PT Ata Energi – Pengadaan baterai lithium ion dan genset (Rp64.440.715.060)
2. PT International Vista Quanta – Pengadaan Smart Mobile Energy Storage (Rp22.005.500.000)
3. PT Japa Melindo Pratama – Pengadaan material mekanik, elektrikal, dan elektronik (Rp60.500.000.000)
4. PT Green Energy Natural Gas – Instalasi sistem gas processing plant (Rp45.276.000.000)
5. PT Fortuna Aneka Sarana Triguna – Pemasangan smart supply chain management (Rp13.200.000.000)
6. PT Forthen Catar Nusantara – Pemeliharaan *civil, mechanical, and electrical* (Rp67.411.555.763)
7. PT VSC Indonesia Satu – Layanan total solusi pengelolaan visa Arab (Rp33.000.000.000)
8. PT Cantya Anzhana Mandiri – Pengadaan smart café dan renovasi ruangan SCBD (Rp114.943.704.851)
9. PT Batavia Prima Jaya – Pengadaan perangkat smart measurement CT scan (Rp10.950.944.196)
Penetapan status tersangka terhadap Kamaruddin Ibrahim merujuk pada Surat TAP-17/M.1/Fd.1/05/2025 yang diterbitkan oleh Kejaksaan pada 7 Mei 2025.
Pihak Kejati menilai keterlibatan para tersangka dalam proyek fiktif ini telah menyebabkan kerugian besar bagi keuangan negara serta mencerminkan praktik kolusi antara pihak BUMN dan swasta yang menyalahgunakan kewenangan.