JAKARTA: Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan bahwa pelayanan terhadap Jemaah Haji Khusus tidak cukup hanya mengandalkan aspek teknis perjalanan, melainkan harus berbasis pada kesiapan menyeluruh terutama karena mayoritas jemaah termasuk kategori lanjut usia (lansia) yang memerlukan perhatian dan perlindungan ekstra.
Hal tersebut disampaikan Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Nugraha Stiawan, dalam konferensi pers operasional haji hari ke-9 di Jakarta, Jumat, 9 Mei 2025.
Ia menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen memperketat seluruh aspek layanan ibadah bagi Jemaah Haji Khusus tahun ini.
Salah satu kewajiban penting yang ditegaskan kepada seluruh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) adalah keharusan menjalin kerja sama resmi dengan rumah sakit rujukan di Arab Saudi.
Nugraha mengungkapkan bahwa masih ditemukan kasus jemaah bingung saat sakit karena tidak adanya rujukan medis yang jelas dan ketidaksiapan layanan asuransi.
“Kami masih menemukan kasus jemaah bingung, saat jatuh sakit karena tidak ada rujukan jelas, tidak ada dokter pendamping, dan asuransi belum bisa langsung digunakan,” tegas Nugraha.
Selain rujukan medis, PIHK juga diwajibkan menyediakan dokter pendamping yang siaga serta sistem komunikasi darurat yang aktif.
Dalam upaya memperkuat perlindungan jemaah, Kemenag melalui Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus kini tengah menyusun standar minimal asuransi yang wajib dimiliki setiap PIHK.
Nugraha menekankan bahwa asuransi tidak boleh hanya menjadi syarat administratif semata, tetapi harus berfungsi sebagai instrumen perlindungan nyata.
“Asuransi bukan sekadar lampiran dokumen. Ini harus menjadi instrumen perlindungan nyata bagi jemaah selama berada di Tanah Suci,” ujarnya.
Sebagai bagian dari peningkatan layanan, Kemenag juga telah menyelenggarakan Orientasi Perdana Petugas Haji Khusus, yang diikuti oleh perwakilan dari 156 PIHK.
Kegiatan ini melibatkan kolaborasi lintas kementerian, termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, dan Kantor Urusan Haji (KUH) Indonesia.
Tujuan orientasi ini adalah untuk membekali para petugas dengan keterampilan teknis, kesiapsiagaan darurat, dan kemampuan berkoordinasi secara terpadu.
Semua petugas, meski berasal dari lembaga berbeda, harus bekerja sebagai satu tim demi pelayanan terbaik kepada jemaah.
Sebagai informasi, dari total kuota haji Indonesia, sebanyak 8 persen atau sekitar 17.680 jemaah merupakan peserta haji khusus.
Kloter pertama akan diberangkatkan pada 13 Mei 2025 mendatang.
Menutup pernyataannya, Nugraha mengingatkan seluruh pihak bahwa penyelenggaraan haji adalah amanah dan bentuk ibadah, bukan semata-mata bisnis perjalanan.
“Pastikan setiap jemaah kembali dengan hati tenang, tubuh sehat, dan jiwa bersih. Karena melayani jemaah adalah bagian dari ibadah itu sendiri,” pungkasnya.