SAMARINDA: Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) Nidya Listiyono soroti kasus 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) palsu yang belum diselesaikan.
Akhirnya menyebabkan hilangnya 44 nyawa akibat lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi.
“Proses hukum sudah berjalan terhadap 21 IUP tersebut, kemudian sudah ada hasil dengan ditetapkannya satu tersangka hingga penahanan,” ucap Listiyono saat diwawancarai usai Grand Opening SCaffe dan Podcast Sukri n D’Genk, Jumat (6/10/2023).
Kasus tersebut telah dilimpahkan kepada Penjabat (Pj) yang baru, Akmal Malik.
Kemudian Listiyono menekankan seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas tugas-tugasnya, termasuk yang belum terselesaikan.
“Itu merupakan konsekuensi jabatan, terlepas suka tidak suka, hal baik atau hal buruk, tetap itu menjadi tanggung jawabnya yang harus diselesaikan sebaik mungkin dengan tempo yang sesingkat-singkatnya,” jelas Listiyono.
“Saya tidak memiliki kewenangan, karena itu merupakan wewenang APH, tapi saya berharap ini ditindak secara cepat dan tegas,” katanya.
“Saya yakin APH bekerja secara profesional, dan sudah terlihat dengan hasil nama-nama yang sudah menjadi tersangka,” lanjutnya.
Politikus Partai Golkar tersebut berharap Aparat Penegak Hukum (APH) bertindak cepat dan tegas untuk menghindari kerugian lebih lanjut.
Data yang dihimpun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kerugian negara akibat penambangan batu bara ilegal di Indonesia capai Rp 40 triliun per tahun.
Dalam konteks ini, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dapat dikenai hukuman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar.
Sesuai dengan kegiatan pertambangan yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), sudah diatur.
Pada pasal 158 menyatakan, “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Selain itu, juga dikenakan membayar denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah)”. (*)