JAKARTA: Direktur Jenderal HAM Dhahana Putra mengungkapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memberikan pengaturan yang lebih tegas mengenai kohabitasi (kumpul kebo) dan perzinaan.
“Bagi pasangan yang belum menikah perlu memahami bahwa di KUHP baru ini kohabitasi juga memiliki konsekuensi hukum,” kata Dhahana di Jakarta, Minggu (28/7/2024).
Ia menjelaskan, kohabitasi dalam KUHP yang baru didefinisikan sebagai pasangan yang tinggal bersama dan berperilaku seperti suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum.
Sementara perzinaan dalam KUHP baru sama seperti KUHP lama yakni tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana.
Merujuk pada pasal 411 dalam KUHP baru, lanjutnya, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan dikenai pidana perzinaan.
“Pasal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan norma kesusilaan dalam masyarakat,” tegasnya.
Ia menekankan, baik kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas sehingga hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan sebagaimana diatur di dalam pasal 411 dan pasal 412.
“Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait, tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum,” jelasnya.
Diakuinya, topik terkait kohabitasi dan perzinaan cukup memantik polemik di ruang publik sejak awal pembahasan KUHP baru. Ada pihak yang menuntut agar tindakan semacam itu diberikan hukuman karena tidak sesuai nilai-nilai sosial dan keagamaan.
“Di sisi lain, ada pihak yang menolak negara untuk mengatur hal tersebut karena dipandang telah mencampuri urusan privat. KUHP berupaya mencari titik keseimbangan,” ungkapnya.
Menurutnya, pengaturan ini penting dalam konteks hak asasi manusia (HAM) sebab negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat.
Ia menyebut, setiap regulasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan pribadi sambil memastikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara.
Hak dasar menurut UU 39 tahun 1999 tentang HAM diantaranya berhak membangun sebuah keluarga tanpa ada tekanan serta berhak memiliki keturunan lewat perkawinan yang sah.
Dhahana meyakini, tim penyusun KUHP telah menimbang dengan matang dari berbagai perspektif dan keilmuan meskipun masih ada diskursus mengenai topik ini di dalam KUHP.
“Pengaturan kohabitasi dan perzinaan dalam KUHP ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan norma sosial yang masih dipegang oleh khalayak di tanah air,” harapnya.
Dirinya pun mengimbau seluruh masyarakat untuk dapat memahami aturan dengan baik guna menghindari konsekuensi hukum sebagaimana diatur di dalam KUHP baru ini.(*)