JAKARTA : Pengamat Politik Luar Negeri Dr Teguh Santosa berharap pemerintahan baru Presiden Terpilih Prabowo Subianto nanti dapat meyakinkan pihak-pihak yang selama ini meragukan dan mempertanyakan komitmen Indonesia untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran di Papua.
Untuk mewujudkan itu, Teguh merasa Prabowo perlu memberikan peran yang lebih signifikan kepada tokoh pejuang HAM asal Papua, Natalius Pigai dalam pemerintahan baru sebab reputasi Natalius Pigai sebagai anggota Komnas HAM RI periode 2012-2017 dan sebagai pejuang HAM telah diakui dunia.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Prabowo melakukan kunjungan ke Australia dan Papua Nugini. Selain Wakil Ketua Harian DPP Gerindra yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sugiono, ia juga mengajak Natalius Pigai.
Selain itu, Prabowo dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan secara terpisah bertemu dengan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di Canberra pada 20 Agustus dan bertemu Perdana Menteri Papua Nugini James Marape di Port Moresby sehari kemudian.
“Keikutsertaan Bung Natalius Pigai dalam kunjungan Presiden Terpilih Prabowo Subianto ke Australia dan Papua Nugini secara simbolis dan substansi memperlihatkan komitmen kuat pemerintahan baru nanti untuk benar-benar menciptakan perdamaian dan pembangunan di Papua,” yakinnya.
Alumni University of Hawaii at Manoa (UHM) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu menilai Natalius mampu menempatkan isu HAM universal di tengah berbagai upaya yang dilakukan Indonesia untuk memacu progres pembangunan di Papua dan disaat yang sama menjaga situasi tetap kondusif.
Sampai sejauh ini, negara Pasifik yang tergabung dalam organisasi Melanesian Sparehead Group (MSG) masih sering menggunakan isu Papua di berbagai forum internasional.
Organisasi ini didirikan pada tahun 1998 di Vanuatu dan pada tahun 2007 menjadi organisasi sub-regional. Selain Vanuatu anggota MSG lainnya adalah Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Fron Pembebasan Nasional Sosialis Kanak di Kaledonia Baru.
Dengan populasi Melanesia sekitar 13 juta orang Indonesia pada 2011 berpartisipasi sebagai Observer MSG dan sejak 2015 menjadi Associate Member (AM) organisasi yang dipimpin diplomat senior Papua Nugini Leonard Louma itu.
Dalam pertemuan MSG di Vanuatu pada Agustus tahun lalu, Indonesia walk out karena panitia mengundang tokoh separatis Papua, Benny Wenda berbicara di forum itu.
“Dunia internasional, khususnya kawasan Pasifik perlu melihat dengan jernih persoalan yang terjadi di Papua. Prinsip peaceful coexistence yang dihasilkan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1950 silam semestinya membuat masyarakat dunia, khususnya belahan Selatan, menjadi lebih kompak dan saling menguatkan,” pungkas mantan Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK) itu.(*)