JAKARTA : Direktur Komite Nasional Keuangan Syariah (KNEKS) Sutan Emir Hidayat menilai sangat wajar, jika Bank Tabungan Negara (BTN) mengajak pihak lain untuk ikut membesarkan bank syariahnya.
Hal ini demi memajukan industri keuangan syariah di Indonesia. Apalagi jika pihak yang dimaksud, dapat memberikan added value (nilai tambah) seperti memiliki ekosistem keuangan syariah yang sangat kuat dan teruji.
“Semoga informasi BTN menggandeng Muhammadiyah, untuk ikut memiliki BTN Syariah hasil spin off, benar terjadi seperti berembus sejak dua pekan lalu,” harap Sutan Emir Hidayat, usai acara diskusi yang diselenggarakan Forum Wartawan Daerah (Forwada) Jumat (23/8/2024) sore.
Emir yang intelektual Muhammadiyah,
menambahkan, banyak pihak mendoakan agar keduanya cepat berjodoh. Ini demi memajukan, industri keuangan syariah di tanah air.
Lebih jauh Emir mengatakan, benar atau tidaknya informasi tersebut, hanya BTN dan Muhammadiyah yang tahu.
Tentunya sebagai masyarakat, hanya bisa berharap dan mendoakan yang terbaik untuk keduanya.
“Sebab apabila mereka bisa bersatu, dampaknya akan signifikan. Baik untuk BTN Syariah, Muhammadiyah maupun industri,” kata Emir
Sutan Emir menjelaskan BTN punya kewajiban untuk segera menyapih (spin off) unit usaha syariahnya.
Sebab menurut undang undang, mereka hanya punya tenggat waktu dua tahun. Terhitung, sejak memenuhi syarat spin off.
Karena alasan waktu dan demi mengoptimalkan momentum, BTN memilih opsi akuisisi Bank Umum Syariah (BUS) ketimbang membangun dari nol.
“Nah, BTN Syariah ini diharapkan menjadi BUS yang kuat, memiliki skala bisnis yang besar dan fundamental yang kokoh,” ujar Emir.
Bahkan diharapkan , bisa menemani BSI dalam memajukan industri perbankan syariah. Pada saat bersamaan, Muhammadiyah juga punya keinginan, untuk memiliki bank syariah sendiri.
Dengan kepemilikan saham (ownership), mereka bisa lebih leluasa untuk ikut memperjuangkan, dan menjalankan visi dalam menggerakkan ekonomi syariah.
“Ekosistem ekonomi Muhammadiyah, melalui sejumlah lembaga Amal Usaha nya, luar biasa besar,” aku Emir.
Perputaran uangnya juga tinggi. Nah, selama ini, mereka hanya mengandalkan kemitraan dengan sejumlah bank, baik dalam bentuk penyimpanan dana, pembiayaan ataupun cash management.
Dengan pola kemitraan semacam itu, posisi Muhammadiyah terbilang pasif. Bahkan tidak punya kesempatan, untuk sekedar menempatkan wakilnya di jajaran komisaris ataupun direksi, sekalipun kuatnya dukungan Muhammadiyah terhadap bank tersebut.
Padahal, Muhammadiyah punya visi dan misi sendiri dalam memajukan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup warganya berdasarkan prinsip syariah.
“Pada titik inilah saya melihat Muhammadiyah mungkin berfikir tentang kemitraan strategis yang dibalut dengan ownership agar bisa ikut menentukan haluan bank ini ke depan,” katanya.
Muhammadiyah ingin memiliki bank syariah sendiri, tapi mereka punya pengalaman pahit di masa lampau di Bank Persyarikatan.
Belajar dari permasalahan itu, Muhammadiyah cenderung sangat hati hati dan lebih selektif dalam memilih partner.
“Dalam konteks kepemilikan bank, pemegang saham pengendali paling ideal yang memang berlatar institusi finansial (bank). Mereka bukan hanya teruji dalam mengoperasikan bank, juga memiliki jam terbang tinggi dalam penerapan manajemen risiko,” kata Emir. (*)