SAMARINDA : Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan jadi perbincangan hangat di kalangan tenaga kesehatan (nakes). Mereka menolak RUU tersebut.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS), David Hariadi Masjhoer, mengakui bahwa RUU Kesehatan ini dinilai melemahkan perlindungan dan kepastian hukum para dokter dan nakes.
Dalam keterangannya di Samarinda, David menyampaikan bahwa tenaga kesehatan tidak hanya terdiri dari dokter umum, tetapi juga dokter gigi, bidan, dan ikatan sarjana farmasi.
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan kepada Komisi IX DPR RI pada tanggal 5 Mei 2023 lalu.
DIM tersebut memuat perubahan aturan dari sedikitnya 10 peraturan terkait kesehatan.
Salah satunya adalah ketentuan mengenai pemidanaan tenaga medis yang lalai.
Salah satu alasan utama penolakan nakes terhadap RUU Kesehatan, adalah adanya kekhawatiran akan pemidanaan yang dapat diberlakukan terhadap mereka.
Pada prinsipnya, ada beberapa pasal yang ditolak.
“Kalau saya pribadi, yang menjadi krusial adalah pemidanaan tenaga kesehatan. Artinya, tenaga kesehatan bisa dituntut secara pidana, padahal selama ini kan dalam ranah perdata,” ungkap David.
Pasal 462 DIM RUU Kesehatan menyebutkan bahwa pidana bagi nakes yang lalai dan menyebabkan pasien mengalami luka berat bukan lagi penjara selama tiga tahun, melainkan penjara dengan maksimal empat tahun.
Selain itu, nakes yang melakukan kelalaian berat sehingga menyebabkan kematian pasien dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama enam tahun delapan bulan.
Namun, RUU Kesehatan ini dinilai kurang jelas karena tidak menjelaskan definisi dari “kelalaian berat,” sehingga berpotensi menjadi pasal yang dapat ditafsirkan secara luas.
David menegaskan bahwa tenaga kesehatan sebenarnya bertujuan untuk membantu pasien, namun RUU ini seolah-olah menggambarkan mereka sebagai pihak yang berbuat jahat.
Ia juga menyatakan bahwa masalah mengenai tenaga asing dalam RUU masih dapat dinegosiasikan, tetapi pemidanaan dalam RUU tersebut dinilai cukup berat.
“Pada prinsipnya mereka ada beberapa pasal yang ditolak. Kalau saya pribadi memang yang menjadi krusial itu adalah pemidanaan tenaga kesehatan. Artinya tenaga kesehatan bisa dituntut secara pidana padahal selama ini kan perdata,” terangnya.
RUU Kesehatan ini masih akan dibahas lebih lanjut oleh Komisi IX DPR RI bersama dengan berbagai pihak terkait.
Perlu dialog konstruktif
Di tengah kontroversi yang melingkupinya, perlu adanya dialog yang konstruktif dan upaya untuk mencapai keseimbangan antara perlindungan pasien dan kebebasan praktik tenaga kesehatan.
“Para nakes berharap agar RUU Kesehatan dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum yang memadai bagi mereka dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan,” tuturnya.
Di sisi lain, beberapa kalangan mendukung pemidanaan dalam RUU Kesehatan sebagai langkah untuk meningkatkan akuntabilitas tenaga medis dalam melindungi keselamatan dan kualitas pelayanan kepada pasien.
Mereka berpendapat bahwa sanksi pidana yang lebih berat dapat menjadi penegasan terhadap pentingnya standar keselamatan dan kualitas dalam praktek medis.
Namun, dalam menghadapi kontroversi ini, diperlukan upaya komprehensif untuk mengakomodasi kekhawatiran nakes serta memastikan bahwa RUU Kesehatan tidak hanya melindungi pasien, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang memadai bagi tenaga kesehatan.
“Seolah-olah kita tenaga kesehatan ini berbuat jahat, padahal kan tujuan kita menolong pasien, Kalau yang masalah tenaga asing dalam RUU itu mungkin masih bisa dinegosiasikan, tapi yang pemidanaan itu memang agak berat menurut saya,” tandasnya. (*)