Banjarmasin – Menyikapi kasus penutupan warung makan nonhalal yg baru-baru terjadi di di bulan suci Ramadan, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Banjarmasin dan Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Kalsel menuntut revisi Perda Ramadan.
Beberapa waktu yang lalu, beredar video penutupan warung makan nonhalal yang beroperasi pada siang hari oleh Satpol PP Banjarmasin. Hal ini menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat Kota Banjarmasin khususnya masyarakat yang tidak menjalankan ibadah puasa.
“Hari ini kami GMKI Banjarmasin dan Pengurus Pusat Koordinator Wilayah VI GMKI mengajak diskusi Ketua PGIW Kalsel menyikapi kasus penutupan rumah makan nonhalal yang merujuk pada Perda Ramadan Banjarmasin yang menurut kami sangat diskriminatif,” tutur Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan GMKI Banjarmasin Vio.
Berdasarkan video yang tersebar di media, kejadian ini bermula saat Satpol PP Banjarmasin menggelar razia penertiban pemilik warung makan nonhalal yang saat itu sedang beroperasi di siang hari, lalu kemudian menuai penolakan dan protes dari pemilik warung.
Menurut keterangan Wali Kota Banjarmasin, Perda ini sudah berlaku selama 15 tahun dan dinilai masih relevan dengan kondisi masyarakat Banjarmasin saat ini.
Vio menuturkan, jika pemerintah mengatakan bahwa Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Larangan Kegiatan pada Bulan Ramadan masih relevan, maka hari ini pihaknya bagian dari masyarakat Kota Banjarmasin menuntut agar Perda Ramadan untuk segera direvisi.
“Karena nyatanya banyak kelompok masyarakat yang dirugikan dengan adanya Perda ini,” tambah mahasiswi tingkat akhir STT GKE itu.
Hal senada juga dikatakan Korwil VI GMKI (Kalsel-Kalteng-Kaltim-Kaltara) Velya Galyani. Kata dia, Perda Ramadan Banjarmasin dinilai jelas mencederai nilai-nilai moderasi beragama.
Menurutnya, Pemkot Banjarmasin juga tidak memiliki prinsip toleransi bagi masyarakat yang tidak melakukan puasa dan ini juga bertentangan dengan UU Hak Asasi Manusia bahwa masyarakat memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mencari nafkah.
Bagi dia, pemerintah sudah seharusnya mengayomi segenap masyarakat yang ada di Kota Banjarmasin, maka keputusan yang dikeluarkan tidak boleh mengurangi atau mencederai hak-hak dasar masyarakat yang ada.
Adapun beberapa kali dalam pertemuan FKUB Banjarmasin, PGI W sudah menyuarakan permasalahan ini kepada pihak DPRD dan juga Pemkot Banjarmasin agar segera dilakukan evaluasi dan revisi Perda namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut lagi.
“Ini jelas menjadi indikasi bahwa Indeks Tingkat Demokrasi di Kalsel sangat rendah, saya juga sudah sampaikan ini,” imbuh Ketua PGIW Kalsel Pendeta Kornelius Sukaryanto.
Ia pun menegaskan, bahwa pembentukan peraturan pemerintah merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 sudah seharusnya mencerminkan beberapa asas mulai dari asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, dan keselarasan.