KUTIM: Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Akmal Malik memuji seni budaya Wehea luar biasa dan harus terus dilestarikan.
“Saya sarankan setiap penyelenggaraan, kita juga mengundang wisatawan mancanegara dan berbaur dengan budaya lain agar lebih meriah dan lebih dikenal,” ujar Akmal.
Hal itu ia katakan saat menghadiri puncak acara Pesta Adat dan Budaya Wehea Lom Plai yang digelar di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Sabtu (20/4/2024).
Sebagai informasi, Lom Plai merupakan pesta syukur panen padi bersama enam desa di kawasan Wehea. Enam desa tersebut diantaranya Desa Diaq Leway, Desa Bea Nehas, Desa Nehas Liang Bing, Desa Long Wehea, Desa Diaq Lay dan Desa Dea Beq.
Saat tiba di Desa Nehas Liah Bing, Akmal Malik yang didampingi Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman disambut adat oleh tokoh adat Wehea.
Rombongan Pj Gubernur Akmal Malik dan Bupati Ardiansyah langsung bergegas mengikuti kegiatan Tiaq Diaq Jengea, salah satu ritual dimana warga turun ke pondok darurat di tepi Sungai Wahau.
Ritual tersebut dimaknai sebagai pembersihan kampung oleh para perempuan adat Wehea. Ritual pembersihan kampung ini disebut Embos Min. Embos Min dimaksudkan untuk membuang segala kesialan dan kejahatan yang ada di dalam kampung.
Dalam ritual ini, saat mereka berjalan ke arah hulu atau hilir kampung tidak ada satu pun yang boleh melintas baik itu hewan mau pun manusia, sehingga warga masyarakat diarahkan ke tepi sungai.
Meski berada di tepi sungai, masyarakat disajikan beberapa atraksi yang memanjakan mata seperti Plaq Saey atau lomba dayung perahu antardesa Wehea. Lomba ini diikuti oleh pria dan wanita dari empat desa desa, yakni Desa Diak Lay, Desa Long Wehea, Desa Dea Beq dan Desa Nehas Liah Bing.
Sementara pertunjukan sungai yang paling ditunggu adalah Seksiang yang diartikan sebagai tiruan perang-perangan pada zaman dahulu yang berada di atas air atau sungai dengan tombak weheang.
Tombak weheang dalam bahasa Wehea adalah rumput gajah yang pada bagian ujungnya telah ditumpulkan. Permainan dilakukan sambil menunggu Embos Min selesai.
Para pemain memakai beberapa perahu menuju ke hulu sungai dan akan sambil hanyut mengikuti arus air sungai. Mereka saling menombak hingga hilir kampung.
Namun ada beberapa aturan yang harus dipatuhi dari seni perang di sungai ini, antara lain lawan yang jaraknya dekat tidak boleh ditombak. Begitu pula saat lawan dalam posisi membelakangi atau karam.
Akmal juga mendatangi Eweang Puen atau rumah adat besar yang berada di hilir kampung untuk menyaksikan ritual adat Mengsaq Pang Tung Eleang.
Mengsaq Pang Tung Eleang merupakan ritual yang menjadi penanda bahwa masyarakat sudah boleh Bea Mai Min atau naik ke kampung dari jengea (pondok darurat).
Proses ritual Mengsaq Pang Tung Eleang yaitu seorang ketua adat akan disiram oleh seorang gadis, kemudian ketua adat mendahului naik dan akan diikuti oleh masyarakat.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan Pengsaq dan Peknai. Pengsaq artinya siram-siraman dan Peknai artinya pemberian arang di wajah. Orang-orang yang disirami dan diberi arang diwajahnya tidak boleh marah.
Ada pun aturan dalam pengsaq dan Peknai adalah tidak boleh menyirami atau memberi arang pada wajah orang yang memiiki bayi atau memberi arang pada wajah orang yang sakit.
Turut menghadiri kegiatan, Staf Ahli Bidang Pengembangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Masruroh, Wakil Bupati Kutai Timur Kasmidi Bulang, Kepala Adat Adat Desa Nehas Liah Bing Liedjie Taq dan para tokoh adat Wehea.(*)