Samarinda – Pandemi Covid-19 telah memunculkan berbagai stigma negatif di kalangan masyarakat dan menjadi sebuah momok diskriminasi terhadap korban dan tentu akan menimbulkan psikologi publik.
Hasil analisis juga membuktikan bahwa stigma negatif terhadap pasien corona dibuktikan dengan adanya data lingual yang mengandung unsur penghinaan, pencemaran nama baik berupa label.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Samarinda Deasy Evriyani menyayangkan hal ini.
Menurutnya, jika masyarakat atau warga yang mengetahui tetangganya terpapar Covid-19, seharunya bisa didukung untuk bergotong royong membantunya hingga pulih.
Artinya masyarakat harus sadar dan dapat berperan aktif dalam menekan tingkat penyebaran Covid-19.
Di sisi lain Deasy menuturkan beberapa waktu lalu pihaknya mendatangi Danish anak laki-laki berumur 8 tahun yang menjadi korban ejekan karena ayah dan ibu kandungnya meninggal dunia karena Covid-19.
“Untuk kasus Danish, pada tanggal 29 Juli 2021 kami bersama Kepala UPTD PPA dan Psikolog telah mendatangi Danish guna menggali informasi terkait riil atas pemberitaan,” paparnya.
Sehingga, kata Deasy, pihaknya mengimbau Ketua RT setempat dan juga sudah mendatangi kelompok yang memang menolak keadaan tersebut untuk tidak memberikan stigma negatif justru mendukung dan membantu korban demi psikisnya.
Pada dasarnya, Covid-19 bukan virus yang menempel dan tidak bisa hilang seperti HIV. Karena dalam jangka waktu 10-14 hari saja, seseorang yang sebelumnya terkonfirmasi positif dapat sembuh jika imun dan ketahanan tubuhnya kuat.
“Jadi virus ini bukan nempel seumur hidup. Ini bisa selesai. Tapi apa daya, itu sudah persepsi yang mungkin susah dilepas,” terang Deasy.
Tapi artinya dari pemerintah kota (Pemkot) sudah berusaha memberikan keterangan dan edukasi yang benar atau komunikasi informasi dan edukasi (KIE).
Dan kebetulan, papar Deasy, pihaknya telah melakukan kunjungan dengan psikologi. Terkait ini juga akan dilakukan pendampingan yang bukan hanya pada anak tapi juga pada kakek, nenek dan pamannya untuk menginformasi bahwa orang tuanya telah meninggal.
“Ini kami kawal supaya anak tidak trauma,” jelasnya.
Pun disampaikan harapannya, atas nama Pemkot mengimbau pada seluruh masyarakat untuk menyingkirkan stigma negatif bahwa seseorang yang terkena Covid-19 dan sudah meninggal adalah penyakit kutukan dan harus dihindari, eliminasi atau dikucilkan.
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak H Wiyono memaparkan total laporan tindakan kekerasan terhadap anak telah mencapai 32 per bulan pada Januari-Juli 2021. Ini cenderung menurun dari laporan tahun 2020 yaitu sebanyak 37 kasus.
“Artinya mudahan tidak bertambah jadi tidak ada kenaikan,” harap Wiyono.
Sejauh ini, untuk jumlah kasus anak yang paling banyak adalah psikis yaitu 10 orang dan salah satu faktornya yaitu merasa tertekan karena tidak diperbolehkan keluar rumah akibat penyebaran Covid-19.
Kemudian ada 9 anak yang dilaporkan karena kasus tindakan pelecehan seksual. Seperti pencabulan, pemerkosaan dan open BO.