BONTANG : Dalam upaya memperkuat literasi digital di kalangan jurnalis dan masyarakat, PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) bersama Forum Jurnalis Bontang menggelar pelatihan bertajuk “Pelatihan Cek Fakta & Anti Hoaks” di Gedung Kopkar Pupuk Kaltim, Kamis (14/11/2024)
Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Pupuk Kaltim Festival Media sekaligus menyambut HUT PKT ke-47 tahun. Bertujuan membekali peserta dengan keterampilan dalam memerangi hoaks di era digital, terutama menjelang Pemilu 2024 yang rawan disinformasi.
Narasumber utama dalam pelatihan ini, Siti Suhada dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), memaparkan sejumlah materi penting terkait verifikasi informasi dan upaya menangkal hoaks.
Ia menyampaikan berbagai materi penting, di antaranya memperkenalkan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi pemeriksa fakta pertama di Indonesia yang didirikan pada 2016. Organisasi ini memiliki tujuan untuk memerangi hoaks dan meningkatkan literasi digital masyarakat.
“Mafindo berdiri dengan visi mewujudkan dunia media sosial Indonesia yang positif dan bebas dari fitnah, hasut, dan hoaks. Kami juga ingin mendorong masyarakat berpikir lebih kritis,” ujar Siti.
Mafindo kini telah berkembang pesat dengan lebih dari 20 profesional dan 1.000 relawan di 42 kota di seluruh Indonesia, menjalin kerja sama dengan lebih dari 26 media dalam upaya kolaboratif fact-checking.
Melalui kegiatan edukasi luring maupun daring, Mafindo telah memberikan pelatihan kepada lebih dari 50.000 orang selama pandemi.
“Partisipasi masyarakat dalam melawan hoaks sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial,” tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa misi Mafindo berfokus pada tiga pilar utama: menciptakan media sosial yang positif, meningkatkan literasi digital, dan mencegah perpecahan NKRI dengan menangkal hoaks dan ujaran kebencian.
Dengan visi dan misi tersebut, Mafindo berharap bisa membangun masyarakat yang lebih tanggap dalam menghadapi informasi yang sering kali memiliki tujuan untuk memecah-belah.
Peserta pelatihan mendapat berbagai materi esensial, mulai dari teknik verifikasi informasi hingga metode cek fakta untuk menghadapi hoaks.
Dalam pelatihan ini, Siti mengajak para peserta untuk mengenali ciri-ciri informasi palsu, seperti judul bombastis, narasi yang provokatif, atau situs yang tidak dikenal.
“Seringkali, hoaks sengaja dirancang agar terlihat kredibel dengan tujuan memancing emosi masyarakat,” jelas Siti.
Para peserta tampak antusias mengikuti sesi pelatihan yang interaktif dan penuh materi relevan. Mereka dilatih untuk berpikir lebih kritis dan memeriksa kebenaran informasi yang diterima, khususnya di media sosial yang sering menjadi ladang subur bagi penyebaran hoaks.
Pelatihan ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman mendalam tentang pentingnya memeriksa fakta sebelum menyebarkan informasi, serta bagaimana cara mengenali tanda-tanda informasi yang tidak valid.
Menghadapi Hoaks di Era Digital
Siti juga memperkenalkan platform Turnbackhoax.id sebagai alat bantu bagi masyarakat yang ingin memverifikasi informasi. Menurutnya, platform ini sangat penting di era digital, di mana hoaks tak hanya berupa teks, tetapi juga dalam bentuk gambar, video, atau campuran keduanya.
“Turnbackhoax.id membantu publik mengenali informasi palsu, khususnya yang banyak beredar di platform seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, TikTok, dan YouTube,” tambahnya.
Tidak hanya berfokus pada literasi digital, Siti juga mengingatkan konsekuensi hukum dari penyebaran hoaks, yang bisa dikenai pidana hingga enam tahun penjara sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ia mengimbau masyarakat untuk melaporkan hoaks melalui aduankonten.id atau Turnbackhoax.id sebagai bagian dari partisipasi aktif dalam menjaga keamanan informasi.
Antusiasme Peserta dan Tantangan Literasi Digital
Sesi pelatihan yang berlangsung interaktif ini berhasil menarik minat peserta, yang aktif bertanya dan berbagi pengalaman mereka dalam menghadapi hoaks di dunia maya.
“Pelatihan ini sangat bermanfaat, terutama untuk jurnalis yang sehari-hari berhadapan dengan informasi dari berbagai sumber,” ujar salah satu peserta.
Dengan meningkatnya literasi digital, diharapkan masyarakat dan jurnalis dapat lebih waspada terhadap dampak buruk penyebaran hoaks, khususnya menjelang pemilu yang sensitif terhadap isu-isu disinformasi.
“Literasi digital yang baik adalah kunci agar kita bisa menyaring informasi dengan tepat,” pungkas Siti.
Pelatihan ini pun menjadi langkah konkret dalam mengatasi tantangan literasi digital di Bontang dan diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga kestabilan sosial dan politik menjelang Pemilu 2024.(*)