SAMARINDA : Wacana mengenai pemberian libur sekolah selama sebulan penuh pada bulan Ramadan kembali mencuat, setelah Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafi’i, menyampaikan ide tersebut pada 30 Desember 2024.
Usulan ini bertujuan memberikan ruang lebih bagi masyarakat Muslim untuk menjalankan ibadah dengan lebih tenang.
Namun, gagasan ini langsung memicu perdebatan tajam di berbagai kalangan, baik di dunia pendidikan maupun masyarakat umum.
Bagi sebagian kalangan, ide libur sekolah panjang selama Ramadan dipandang sebagai langkah positif yang mendukung pelaksanaan ibadah puasa.
Dengan memberi kesempatan lebih kepada siswa dan tenaga pendidik untuk berfokus pada ibadah, diharapkan kualitas ibadah Ramadan dapat lebih maksimal.
Namun, tidak sedikit pula yang khawatir bahwa kebijakan ini justru akan berdampak buruk terhadap sistem pendidikan, terutama dalam hal efektivitas proses pembelajaran.
Pengamat pendidikan dari Universitas Mulawarman, Susilo, mengungkapkan bahwa libur panjang selama Ramadan berpotensi menghambat pencapaian target kurikulum yang sudah ditetapkan.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mengurangi efektivitas pembelajaran di sekolah.
“Libur panjang selama Ramadan dapat mengurangi efektivitas pembelajaran. Ini sangat berbahaya bagi siswa SMA/SMK yang mempersiapkan ujian akhir atau seleksi masuk perguruan tinggi,” ungkap Susilo, Jumat (3/1/2025).
Untuk mengatasi hal ini, Susilo mengusulkan solusi berupa model pembelajaran yang lebih adaptif selama Ramadan.
Alih-alih libur total, ia menyarankan agar pembelajaran disesuaikan dengan kondisi.
Misalnya, sekolah dapat selesai lebih awal, diikuti dengan kegiatan keagamaan seperti pesantren Ramadan, sehingga siswa tetap bisa menjalani ibadah dengan optimal tanpa mengabaikan kebutuhan pendidikan.
Selain itu, kebijakan libur sekolah sebulan penuh ini juga memunculkan pertanyaan mengenai inklusivitas, mengingat Indonesia merupakan negara yang multikultural.
Dengan adanya siswa dari berbagai latar belakang agama dan budaya, kebijakan libur yang hanya berfokus pada bulan Ramadan dianggap tidak relevan bagi sebagian kelompok.
Ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam hal kesetaraan hak pendidikan.
Tak hanya itu, implikasi terhadap kalender pendidikan nasional juga menjadi sorotan.
Beberapa pihak mengingatkan bahwa libur sebulan penuh selama Ramadan akan mengharuskan penyesuaian jadwal di semester berikutnya.
Hal ini bisa berpotensi menambah beban baik bagi siswa maupun guru, terutama yang harus mengejar ketertinggalan materi pembelajaran.
Menanggapi perdebatan yang berkembang, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap awal pembahasan.
Ia menjelaskan kebijakan ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian karena menyangkut penetapan hari libur nasional yang tidak hanya melibatkan Kementerian Pendidikan.
Tetapi juga Kementerian Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta lembaga terkait lainnya.
“Perlu adanya koordinasi yang lebih dalam lagi antar kementerian. Kebijakan ini masih dalam pembahasan dan belum ada keputusan final,” terang Abdul Mu’ti.(*)