Samarinda – Bongkahan batu bara masuk ke halaman rumah warga akibat terbawa derasnya arus banjir di kawasan Muang Dalam, Lempake, Samarinda Utara. Ini pertama kali terjadi di kawasan tersebut.
Lokasi yang terdampak banjir ini tidak jauh dari lokasi pertambangan batu bara yang baru beroperasi dua tahun terakhir.
Dan yang mengejutkan adalah, keterangan warga yang menyatakan bahwa banjir yang terjadi kali ini merupakan yang paling tinggi. Ada yang sepaha dan ada juga sedada orang dewasa.
“Di sini memang biasa banjir, namun hanya banjir lewat. Pun kalau banjir, banjir air bersih, bukan banjir lumpur seperti ini,” ungkap Poni, salah satu warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi pertambangan batu bara, Jumat (3/9/2021) pagi.
Bahkan bukan hanya persoalan batu bara yang terbawa arus ke rumah warga, sumber mata pencaharian warga di sana yang diketahui sebagian besar bercocok tanam pun dirugikan.
Dari pantauan Narasi.co, ada banyak perkebunan warga yang memang rusak akibat terendam banjir lumpur yang dikabarkan tiba-tiba datang.
“Tadi itu mau panen, tapi habis semua rusak akibat terendam banjir lumpur. Mana sekarang pupuk dan obat mahal. Terus tanaman kita murah. Kita harus bagaimana,” tutur Siti, salah satu warga sekitar RT 47.
“Kita cuman bisa makan kadang kurang mau kembalikan uang ke bos yang modalin juga gak bisa. Kemana lagi kita tidak tahu. Nanti kalau kita laporan ke RT atau lurah, paling dikatain cuma omong kosong. Terus kita ngadu kemana coba. Kita orang bodoh. Tiap harinya hanya ke ladang. Sekarang tanamannya kena lumpur seperti ini,” keluh Siti.
Banyak warga yang beranggapan bahwa, banjir lumpur ini berasal dari area pertambangan batu bara yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Yang pasti banjir sebelumnya bukan lumpur, dan sekarang lumpur. Bahkan lebih dalam.
“Sekarang tanaman banyak mati. Apa gak mati, ini limbah beracun. Dari batu bara lah kita mandi aja gatal. Kita sekarang ini mau minum mau masak pakai air apa. Ini loh air keruh diobati. Kita mau ngadu sama siapa. Sama Presiden? mau sama RT lurah, kalau sudah dapat uang ya sudah gak digapai orang kecil,” kritik Siti.
Disinggung tentang perolehan bantuan, Siti menyatakan jika bantuan yang diberikan tidak setimpal dengan dampak yang mereka rasakan.
“Saya gak pernah dapat bantuan. Padahal kalau dengar-dengar, perusahaan batu bara itu pasti memberikan uang. Tapi gak tau nyangkut uangnya kemana. Mungkin di pohon atau dibawa angin tidak tahu. Bantuan dalam bentuk apa. Katanya orang perusahan itu bentuk uang. Tapi gak tau nyangkut dimana. Per KK biasanya,” beber Siti kesal.
Siti pun berharap kepada pemerintah agar dapat menutup proses pertambangan batu bara di sekitar tempat tinggalnya itu. Sebab dampak begitu dirasakan.
“Cari makan susah, ditambah kejadian seperti ini. Mudahan orang di atas bisa dengar orang kecil di sini,” tuturnya sambil menangis.
Sementara itu Lurah Lempake Nurhayanto saat dimintai keterangan terkait hal ini menyatakan pihaknya belum sempat blusukan hingga ke rumah warga yang halamannya dipenuhi tumpukan batu bara.
“Saya mau ke sana hanya masih terkendala dengan kendaraan saya. Saya sudah cek ke lapangan tadi pagi hanya tidak bisa sampai ke ujung karena terhalang banjir,” tuturnya melalui telepon seluler, Jumat (3/9/2021).
Di sisi lain Nurhayanto menerangkan jika tumpukan batu bara yang terbawa arus itu hanya larutan sisa, bukan batu dom.
Dikonfirmasi terkait lokasi pasti penambangan, Nurhayanto sebut jika informasinya berada di sekitar RT 33, 34, 35 dan 47. Ia pun menyebut ada warga yang terlibat dalam tambang batu bara tersebut.
“Ya karena warga di Muang Dalam itu ada yang ikut bermain. Jadi kita ini susah menghalau tambang ilegal itu, karena warga di situ juga ada yang bermain,” kata Nurhayanto.
Ia juga mengatakan bahwa dirinya sudah sering menyampaikan keluhan warga kepada jenjang atasannya. Dalam hal ini mewakili suara warga yang peduli terhadap lingkungan. Menyampaikan jangan ada tambang.
Namun itu tetap tidak bisa dikendalikan. Karena setiap dilaporkan dan dilakukan sidak, alat bantu proses penambangan selalu tidak terlihat alias disembunyikan. Padahal bekas tambang itu ada. Dan kejadian ini selalu terulang.
Dia menyebut orang-orang di situ tetap tidak bisa dikendalikan. Cukong atau pemilik nyaman saja, karena tidak tinggal di sana. Sehingga dia tidak merasakan sakitnya tergenang banjir.
Namun, Nurhayanto menegaskan jika laporan yang ia berikan tidak langsung ke Polda. Karena dirinya memiliki jenjang atasan langsung.
Ia juga mengatakan jika dirinya sudah berkali-kali mencoba menghalau kerusakan. Tetapi setelah terjadi ini semua saling menyalahkan.
“Kami waktu itu sudah menyampaikan kepada DLH, ESDM. Semua sudah tapi ya mungkin orang-orang yang tambang itu kerja sama dengan yang memiliki izin. Ya aku gak ngerti itu,” pungkasnya.